Rabu, 20 Agustus 2014

dunia farmasi



Dunia Farmasi

Dunia Farmasi
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj9uL8ED_ICK5ZLtZZ9XaWH20WL2pRdTTbNDB7V5tGy37g0p1PREkqN7G2pvyC4jBQKsmtgL3oBsATH-XgFdEs4KBx1F0ZthUDqkYA9ZYroSGYUAl__tN9dPl3drZGG9k-s6pFWFZh6fBcm/s200/slider-11.jpgBidang farmasi berada dalam lingkup dunia kesehatan yang berkaitan erat dengan produk dan pelayanan produk untuk kesehatan. Dalam sejarahnya, pendidikan tinggi farmasi di Indonesia dibentuk untuk menghasilkan apoteker sebagai penanggung jawab apotek, dengan pesatnya perkembangan ilmu kefarmasian maka apoteker atau dikenal pula dengan sebutan farmasis, telah dapat menempati bidang pekerjaan yang makin luas. Apotek, rumah sakit, lembaga pemerintahan, perguruan tinggi, lembaga penelitian, laboratorium pengujian mutu, laboratorium klinis, laboratorium forensik, berbagai jenis industri meliputi industri obat, kosmetik-kosmeseutikal, jamu, obat herbal, fitofarmaka, nutraseutikal, health food, obat veteriner dan industri vaksin, lembaga informasi obat serta badan asuransi kesehatan adalah tempat-tempat untuk farmasis melaksanakan pengabdian profesi kefarmasian.


Buku Pharmaceutical handbook menyatakan bahwa farmasi merupakan bidang yang menyangkut semua aspek obat, meliputi : isolasi/sintesis, pembuatan, pengendalian, distribusi dan penggunaan.

Silverman dan Lee (1974) dalam bukunya, “Pills, Profits and Politics”, menyatakan bahwa :
  1. Pharmacist lah yang memegang peranan penting dalam membantu dokter menuliskan resep rasional. Membantu melihat bahwa obat yang tepat, pada waktu yang tepat, dalam jumlah yang benar, membuat pasien tahu mengenai “bagaimana,kapan,mengapa” penggunaan obat baik dengan atau tanpa resep dokter.
  2. Pharmacist lah yang sangat handal dan terlatih serta pakart dalam hal produk/produksi obat yang memiliki kesempatan yang paling besar untuk mengikuti perkembangan terakhir dalam bidang obat, yang dapat melayani baik dokter maupun pasien, sebagai “penasehat” yang berpengalaman.
  3. Pharmacist lah yang meupakan posisi kunci dalam mencegah penggunaan obat yang salah, penyalahgunaan obat dan penulisan resep yang irrasional.
 Sedangkan Herfindal dalam bukunya “Clinical Pharmacy and Therapeutics” (1992) menyatakan bahwa Pharmacist harus memberikan “Therapeutic Judgement” dari pada hanya sebagai sumber informasi obat.

Melihat hal-hal di atas, terlihat adanya suatu kesimpangsiuran tentang posisi farmasi. Dimana sebenarnya letak farmasi ? di jajaran teknologi, Ilmu murni, Ilmu kesehatan atau berdiri sendiri ? kebingungan dalam hal posisi farmasi dalam keilmuan akan membingungkan para penyelenggara pendidikan farmasi, kurikulum semacam apa yang harus disajikan, semua bidang farmasi atau dikelaskan agar lebih terfokus.lagi

Di Inggris, sejak tahun 1962, dimulai suatu era baru dalam pendidikan farmasi, karena pendidikan farmasi yang semula menjadi bagian dari MIPA, berubah menjadi suatu bidang yang berdiri sendiri secara utuh.rofesi farmasi berkembang ke arah “patient oriented”, memuculkan berkembangnya Ward Pharmacy (farmasi bangsal) atau Clinical Pharmacy (Farmasi klinik).

Di USA telah disadari sejak tahun 1963 bahwa masyarakat dan profesional lain memerlukan informasi obat tang seharusnya datang dari para apoteker. Temuan tahun 1975 mengungkapkan pernyataan para dokter bahwa apoteker merupakan informasi obat yang “parah”, tidak mampu memenuhi kebutuhan para dokter akan informasi obat bahkan paradigma tersebut masih melekat sampai saat ini dikarenakan kebingungan yang terjadi pada akar bidang keilmuan farmasi yang lebih luas daripada kedokteran yang berorientasi pada pasien, sedangkan farmasi pada masa pendidikan S1 tidak hanya dijejali dengan kuliah farmakologi, farmasetika, farmakokinetik, anatomi fisiologi manusia DLL (ilmu farmasi klinik), tetapi juga mempelajari teknologi farmasi, kimia farmasi, DLL sampai kepada manajemen farmasi. farmasi

Perkembangan terakhir adalah timbulnya konsep “Pharmaceutical Care” yang membawa para praktisi maupun para “profesor” ke arah “wilayah” pasien. Secara global terlihat perubahan arus positif farmasi menuju ke arah akarnya semula yaitu sebagai mitra dokter dalam pelayanan pada pasien. Apoteker diharapkan setidak-tidaknya mampu menjadi sumber informasi obat baik bagi masyarakat maupun profesi kesehatan lain baik di rumah sakit, di apotek atau dimanapun apoteker berada.

Pelayanan obat kepada pasien melalui berbagai tahapan pekerjaan meliputi diagnosis penyakit, pemilihan, penyiapan dan penyerahan obat kepada pasien yang menunjukkan suatu interaksi antara dokter, farmasis, pasien sendiri. Dalam pelayanan kesehatan yang baik, informasi obat menjadi sangat penting terutama informasi dari farmasis, baik untuk dokter, perawat dan pasien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar